Aug 16, 2011

Agar Penglihatan Mata Hati Tetap Terang

“Kesungguhan usahamu di dalam segala sesuatu yang telah dijamin oleh Allah untukmu, dan kelalaianmu di dalam segala sesuatu yang dituntut oleh Allah darimu menunjukkan atas terhapusnya mata hatimu” (Al-Hikam : 5).



Semoga Allah swt membimbing dan menolong kita untuk senantiasa berusaha dengan penuh kesungguhan dalam menunaikan segala kewajiban amal ibadah untuk kemuliaan hidup di akhirat, melebihi kesungguhan usaha dan kerja kita dalam mencapai cita-cita kesuksesan hidup di dunia.



Di dalam urusan hidup ini, ada 2 hal yang harus kita maklumi dan sikapi dengan tepat. Pertama, sesuatu yang Allah swt telah jamin untuk hamba-Nya, yaitu rezeki untuk kebutuhan hidupnya di dunia. Allah tidak menuntut manusia menghabiskan seluruh waktu dan kemampuannya untuk mencari rezeki. “Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu” (Qs.20. Thaaha : 132). Rezeki adalah jaminan dari Allah. Allah datangkan rezeki kepada manusia setelah mereka menempuh suatu usaha, atau tanpa usaha sebelumnya. “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” (Qs.11. Huud : 6). “Dan berapa banyak makhluk melata yang tidak (dapat) menanggung rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu” (Qs.29. al-Ankabut : 60).



Karena rezeki itu dalam kekuasaan dan jaminan Allah, maka terkadang ada orang yang telah bekerja dengan sangat keras siang dan malam, tidak kenal waktu, sampai ia tidak ingat kewajiban ibadah, namun gagal meraih rezeki yang diharapkan. Padahal, ada orang yang wajar-wajar saja dalam kerja dan usahanya, tetap ingat dan taat beribadah, namun rezeki yang diharapkan ia dapatkan, bahkan diberi lebih. “Allah meluaskan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (Qs.29. al-Ankabut : 62). Bahkan orang-orang yang bertaqwa, Allah sering memberikan rezeki kepada mereka dari arah yang tidak terduga. “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar, dan Ia akan memberinya rezeki dari arah yang ia tidak sangka-sangka. Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya” (Qs.65. ath-Thalaaq : 2-3).


Kedua, sesuatu yang Allah swt tuntut dari hamba-hamba-Nya, yaitu amal-amal ibadah dan ketaatan-ketaatan yang menjadi perantara sampainya hamba kepada kebahagiaan hakiki di akhirat dan kedudukan yang dekat di sisi Allah. Maksudnya, Allah menuntut manusia untuk senantiasa berusaha mengisi hidupnya dengan amal ibadah, yang wajib dan yang sunah. Manusia akan mendapatkan pahala dan karunia Allah di surga setelah ia melaksanakan usaha dalam menunaikan ibadah dan berjuang di jalan Allah. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)” (Qs.53. an-Najm : 39). “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (Qs.2. al-Baqarah : 286).


Pahala hanya akan Allah berikan kepada manusia setelah ia menempuh jalan ibadah. Tidak ada pahala dari Allah tanpa ada usaha manusia menunaikan ibadah sebelumnya. Pahala dari Allah tidak seperti rezeki yang bisa datang dari arah yang tidak terduga. Oleh karena itu tidak sama apa yang didapatkan oleh orang-orang yang duduk-duduk saja tanpa usaha, dengan orang-orang yang berusaha beribadah dan berjuang di jalan Allah. “Tidaklah sama antara orang-orang mukmin yang duduk (yang tidak ikut berjuang di jalan Allah) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik. Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (Qs.4. An-Nisaa’ : 95).


Di dalam menyikapi 2 hal ini, manusia terbagi dalam 2 golongan. Pertama, orang yang ”Bashirah” atau mata hatinya terhapus, tertutup atau buta. Yaitu orang yang dalam hidupnya menghabiskan seluruh waktu dan kemampuannya untuk usaha dan kerja keras dalam mencari rezeki, padahal rezeki hakikatnya ada di dalam jaminan Allah, namun bersamaan dengan itu, ia lalai dan malas dalam usaha menunaikan ibadah, padahal ibadah adalah yang Allah tuntut dari dirinya. Ia rajin dan disiplin datang kerja ke sawah, pasar, kantor atau tempat-tempat usahanya untuk mencari rezeki, namun ia tidak menjadwalkan diri hadir di tengah-tengah jama’ah masjid, musholla, majlis ta’lim, pondok pesantren atau tempat-tempat perjuangan di jalan Allah. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Ibnu Atha’illah as-Sakandari di dalam Kitab al-Hikam, “Kesungguhan usahamu di dalam segala sesuatu yang telah dijamin oleh Allah untukmu, dan kelalaianmu di dalam segala sesuatu yang dituntut oleh Allah darimu, menunjukkan atas terhapusnya mata hatimu” (al-Hikam : 5).
Diantara tanda-tanda orang yang terhapus atau buta mata hatinya adalah ia tidak memperhatikan akibat dari setiap sikap dan perbuatan yang ia lakukan sehingga pada akhirnya menimbulkan kerugian dan penyesalan. “Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka. Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka” (Qs.2. al-Baqarah : 167)


Kedua, orang yang ”Bashirah” atau mata hatinya terbuka dan telah bersinar cahaya Allah di dalamnya. Yaitu orang-orang menyadari bahwa ia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. ”Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (Qs.22. al-Hajj : 77). Hati dan akal pikirannya sibuk memikirkan urusan ibadah. Ia memahami bahwa usaha keras dalam menjemput rezeki hukumnya mubah, sedangkan usaha keras dalam ibadah untuk meraih ridha Allah hukumnya wajib. Gerakan anggota badannya sigap dan penuh semangat dalam pengabdian kepada Allah. Aktifitas kerja dan usaha tidak sampai menyibukkan hatinya di saat shalat atau menuntut ilmu. Ia membagi waktu dan perhatiannya dengan adil. Ada saatnya ia khusus menghadap Allah dan ada saatnya ia berinteraksi dengan sesama manusia. Ia giat pergi kerja ke sawah, pasar, kantor atau tempat usaha lainnya. Namun ia juga tekun dan disiplin hadir di tengah-tengah jama’ah masjid, musholla, majlis ta’lim, pondok pesantren atau tempat-tempat perjuangan di jalan Allah. Ia yakin bahwa jika ia taat kepada Allah, maka Allah Yang Maha Mengetahui akan memberikan karunia yang terbaik untuk hidupnya. Di dalam Hadits Qudsi, Allah swt berfirman, “Wahai hamba-Ku, taatlah kepada-Ku di dalam segala sesuatu yang Aku perintahkan, dan jangan mengajari-Ku dengan segala sesuatu yang akan menjadi kebaikan bagimu”.


Diantara tanda-tanda orang yang ”Bashirah”nya telah terbuka, atau hatinya telah bercahaya adalah ia akan selalu memperhatikan akhir atau akibat dari segala sesuatu. Jika akibatnya baik dan ridha Allah, maka ia lakukan. Jika akibatnya buruk dan murka Allah, maka ia tinggalkan. Ia senantiasa berusaha menjadi ahli taqwa. Dan Allah swt berfirman, ”Maka bersabarlah. Sesungguhnya akibat (kesudahan) yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs.11. Huud : 49).
Semoga Allah membimbing dan menolong kita untuk memiliki amal dan kepribadian orang-orang yang terbuka terang mata hatinya dan bersinar bashirahnya sebagaimana para Sahabat Rasulullah saw, yang hidupnya dihabiskan untuk taat kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya, maka Allah menganugerahkan kepada mereka kemenangan, kebahagiaan dan kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.

No comments: